Serpihan Kisah Dari Palopo

Serpihan Kisah dari Palopo
Oleh : Citra Fadhillah

Srrrrrtttt….
Suara mesin itu membuat riuh seisi hutan Tabalun. Teriakan-teriakan kepanikan mulai terdengar dari sudut hutan, menjalar hingga ke tengah hutan. Suasana malam seperti itu seakan sudah menjadi aktifitas bulanan di hutan ini. Namun kami masih saja tak dapat beradaptasi, terlalu  menyakitkan bagi kami, saat menyaksikan sanak saudara kami mati terpotong mesin pemotong pohon itu.
Matahari menyelamatkan kami dari kelamnya malam itu. Aku bersyukur masih banyak pohon yang selamat, karena hujan mengguyur lebat malam itu. Aku Palopo, salah satu pohon tertua di hutan Tabalun. Sisa sisa batang pohon masih berserakan di sekitarku. Entah apa kesalahan yang kami buat ,mungkin karena kami yang tak dapat berbicara. Sehingga, kami seakan baik-baik saja. Padahal,sakit rasanya hidup seperti ini. Namun hal yang dapat membuat kami bahagia adalah dapat bermanfaat bagi anak cucu manusia.

Di satu pagi, satu tunas pohon baru dihutan kami tumbuh. Hasil penyerbukan dari tuan Sapohon dan nyonya Miaplant.  Seisi hutan turut bahagia,penghuni baru hutan dapat menggantikan satu pohon yang mati nanti. Banyak hal yang telah kualami di hutan Indonesia. Mereka para manusia menyebut rumah kami sebagai paru-paru dunia. Mereka tau bahwa kami penting bagi hidup mereka. Namun bagi sebagian mereka, uang yang mereka dapatkan dari menebangi kami, membakar lahan untuk ladang mereka, jauh lebih penting.

Tunas yang baru tumbuh dari tuan Sapohon dan nyonya Miaplant, kini semakin tumbuh besar menjadi pohon yang memiliki batang dan akar yang sejati. Tingginya hampir menyamai diriku. Senang rasanya melihat tunas tumbuh dewasa tanpa ada ancaman.Baru saja aku merasa lega, suara mesin pemotong kembali terdengar. Kali ini terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Aku hanya bisa pasrah, namun tuan Sapohon dan nyonya Miaplant terlihat sibuk melindungi anaknya. Walaupun ia tau hal itu akan sia-sia ,namun mereka tetap berusaha. Merundukkan ranting-ranting mereka yang ditumbuhui lebat oleh daun, untuk menutupi tubuh anaknya. Tapi sayang, mesin pembunuh itu kini telah berada tepat di depan pohon anaknya. Salah satu manusia, memegangi pohon, memeriksa keadaan batang anak pohon tuan Sapohon. Tak butuh waktu lama, setelah ia memeriksa batang pohon, mesin itu dengan cepat memotong batang anak tuan Sapohon dan nyonya Miaplant. Kudengar jelas jerit tangis nyonya Miaplant, melalui naluri kepohonan ku. Tuan Sapohon hanya bisa menenangkan nyonya Miaplant. Lagi-lagi, aku selamat dari penebangan liar malam itu. Mungkin aku sudah terlalu tua dan lapuk, hingga mereka tak selera untuk menebang bantangku.

Pernah kudengar dari pembicaraan pohon-pohon dan binatang tentang bencana yang menimpa hutan Sadamun. Waktu itu malam hari, saat tubuh tubuh mereka mulai dihinggapi hewan hewan malam yang mulai beraktifitas.Saat daun daun mereka menjadi selimut bagi hewan-hewan siang. Angin malam pun membuat ranting-ranting kecil mereka menari. Nyanyian jangkrik membuat hewan-hewan tertidur lelap. Tiba-tiba,cahaya terang menyembul  dari salah satu sudut hutan.Asap pun mulai mengepul. Cahaya terang yang ternyata kobaran api, mulai merambat ke seluruh bagian hutan. Dalam diam, mereka panik bukan main. Tuan Tatapo yang merupakan pohon tertua di hutan itu juga terbakar habis. Hanya dalam waktu semalam, hutan sadamun telah habis terbakar.Hewan-hewan yang berhabitat di hutan sadamun pun bermigrasi ke hutan kami, hutan Tabalun. Bencana kebakaran hutan adalah yang paling kami takut kan, karna semua pohon baik yang muda ataupun tua, akan ikut terbakar habis tanpa pandang bulu.

Di satu sisi, aku benar benar terpukul dengan hancurnya hutan sadamun, namun di sisi lain, aku ikut senang karena hewan hewan sempat bermigrasi. Hingga anak-anak mereka dapat tetap tumbuh dewasa walau di tempat yang baru. Kecemasan pun tak bisa dipungkiri, melanda seisi hutan tabalun. Kami cemas, hal yang sama menimpa kami, suatu hari nanti.
“tuan palopo, apa yang bisa kita lakukan jika hutan kita mengalami hal yang sama seperti hutan sadamun?” tanya tuan sapohon sahabatku.
“tuan sapohon, tak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa. Biarlah tuhan yang membuka hati mereka, dan membalas apa yang telah para manusia lakukan” jawabku
“tapi sampai kapan tuan???”
“sampai mereka benar benar sadar akan pentingnya kita”

Hidup seperti ini, tak hanya kami rasakan di hutan. Saudara-saudara kami di kota sana pun mengalami nasib yang juga menyedihkan. Walau mereka tak ditebangi secara liar, tak mengalami pembakaran illegal. Tapi apa yang mereka rasakan, mungkin lebih sakit.Batang mereka dipakui berkali kali, menjadi tempat bagi iklan-iklan barang,jasa, sampai calon pemimpin.Dibalik kokohnya batang kayu mereka, mereka tetaplah makhluk hidup yang dapat merasakan sakit, bukan bata yang tak dapat merasakan sakit jika dipakui. Dinding bata yang benda mati saja pun, jika dipakui berkali-kali,terus-menerus dapat rutuh. Apalagi kami bangsa pohon.

Tapi sesungguhnya,ada rasa bersalah yang mendalam di hati kami, saat batang tua kami mulai rapuh dan dapat membahayakan kalian warga kota. Maaf, karena batang kami yang tumbang merusak barang-barang kalian, kendaraan kalian, rumah bahkan membuat kalian terluka.Sungguh,maafkan kami. Maka itu, tebanglah kami yang sudah tua ini, jangan anak-anak muda pohon yang masih punya jalan hidup yang panjang.

Jika saja Tuhan menganugerahkan kami dapat bergerak, tentulah dengan mudah kami dapat menghindar dari peebangan-penebangaan liar maupun pembakaran hutan. Namun nyatanya tidak,Mengertilah hai manusia, ini rumah kami,apa kurang luas permukan bumi yang disediakan untuk kalian??.
“tuan sapohon, aku punya kabar membahagiakan!!, apa kau mau dengar??” ujarku pagi itu
“tentu tuan palopo, ayo cepat beri tahu aku!!”
“ku dengar, warga kota telah membuat peraturan hukum tentang penebangan liar dan pembakaran hutan” kataku dengan mata berbinar
“peraturan hukum??, apa maksudnya??” tanya tuan sapohon heran
“jadi begini, siapa yang melakukan penebangan liar dan pembakaran hutan akan diberi hukuman”
“benarkah???!!!!, benarkah tuan???, kalau begitu sekarang kita bisa hidup aman, hidup aman!!!!!” teriak tuan sapohon sangking gembiranya

Saat itu kami bersyukur dan berterimakasih, karna usaha yang dilakukan beberapa orang untuk mengeluarkan peraturan hukum itu. Semangat kami untuk tetap hidup dan tumbuh dewasa terus meninggi. Dan ternyata, hukum yang dikeluarkan itu cukup berpengaruh. Dalam 2 bulan, tak ada kami dengar suara mesin-mesin pemotong, tak ada kami rasakan panasnya api. Namun, keamanan yang kami rasakan, hanya berlangsung selama 2 bulan itu. Di bulan selanjutnya, perlahan mesin pemotong itu kembali terdengar sayup-sayup. Hati kami kembali gelisah, mereka membangkang dari peraturan yang mereka buat sendiri. Beruntung, malam itu ada polisi hutan yang sedang berpatroli, hingga satu per satu mereka ditangkap dan dibawa. kami berterimakasih pada polisi hutan, walaupun kami tau ia tak mendengar. Untuk beberapa bulan, hutan kami kembali terasa aman dan tentram. 

Tunas- tunas baru mulai menyembul dari tanah. Hingga tumbuh subur menjadi pohon sejati, yang memiliki akar , batang dan daun. Tapi malam itu, saat langit menggambar titik titik bercahaya bernama bintang,saat gelap menjadi teman bagi makhluk malam, cahaya terang menyilaukan mata kami. Sudah bisa kutebak, itu adalah kobaran api yang siap membakar seluruh isi hutan tabalun. Semua pohon terbangun dari tidurnya, panik bukan main. Hal yang kami takutkan selama ini, kini benar terjadi. Kami hanya bisa pasrah, dan berdoa pada Tuhan. Syukurlah ternyata Tuhan mendengar dengan baik doa kami. Hujan yang begitu deras mengguyur hutan kami, hingga kobaran api tak sempat membakar habis seisi hutan tabalun. Hanya 4 pohon yang terbakar. Namun tetap saja, kami bersedih atas terbakarnya 4 poho itu. Karna kami adalah keluarga, satu jiwa, satu jenis, dan satu nasib.

Banyak kisah lain yang terjadi selama aku hidup di hutan Tabalun ini. Beberapa tahun belakangan, orang –orang utan yang biasanya bergelantungan dengan akar-akar gantung. Terbang dari satu pohon ke pohon laim, yang dulu begitu banyak, kini hanya tinggal beberapa saja. Gerakan menggantung mereka pun tak lagi terlihat sama. Mereka tak lagi bersemangat. Terlihat pula dari raut wajah mereka yang terlihat ada kecemasan . Satu hari, aku bertanya pada Nippon, salah satu orang utan yang sering kali bergantung di rantingku.
“Nippon, boleh aku tau apa yang terjadi dengan bangsamu?” Kulihat jumlah kalian semakin lama, semakin sedikit” tanya ku hati-hati.
“Banyak orang utan yang diburu dan dibawa pergi “ jawab Nippon, lalu duduk di rantingku.
“oleh.. manusia??” tanyaku perlahan
“siapa lagi..”
“istri dan anakku juga ikut menjadi korban. Waktu itu, aku sedang pergi mencari makanan untuk bekal esok hari. Saat aku pulang, anakku sudah tergeletak mati dan istriku menghilang” tutur Nippon sambil menyeka air matanya.
“Nasib kita tak jauh berbeda Nippon.. kau yang sabar ya”

Percakapan hari itu membuatku semakin merasa bahwa sebegitu serakahnya manusia itu. Terbersit di hatiku, apa mereka melakukan itu secara sengaja atau mungkin terpaksa??. Apa mereka benar benar tak memikirkan keberadaan kami??.
Nippon pernah bersyair didepanku, tuan Sapohon dan yang lainnya.
Dulu,, rumah kami begitu indah dan nyaman…
Anak,cucu, saudara-saudara kami berkejaran dari pohon ke oohon..
Kini, sebagian rumah kami hancur,ditebangi..!!, dibakar!!
Hingga kami harus mencari makan menuju pemukiman warga.
Kami tau kami menggangu pemukiman kalian,,,
Tapi kalian lah yang lebih dulu mengganggu pemukiman kami,,,

Saat Nippon berhenti, tuan sapohon menyambung, ikut bersyair dan bergaya seakan penyair besar.
Kami bahagia kami ditakdirkan menjadi makhluk yang bermanfaat bagi para manusia…
Kami bahagia saat melihat buah-buaha kami habis dilahap..
Kami bahagia saat daun lebat kami menjadi payung disaat panas maupun hujan.
Tuan Sapohon berhenti, ia tertunduk teringat akan anaknya yang dahulu habis ditebang para manusia. Sedetik kemudian, kulihat mata tuan Sapohon mulai basah.
‘Tuan Sapohon, apa kau baik-baik saja?” tanya Nippon
“Kalau saja anakku masih ada, Ia pasti sudah tumbuh dewasa” ujar tuan Sapohon menegakkan tubuh dan menghela nafas seakan melepas beban.
“anakmu telah tumbuh subur di surga tuan” ujarku mencoba melegakan tuan Sapohon.

Aku paham bagaimana perih itu disimpan begitu lama oleh tuan Sapohon. Namun ia memang tak dapat berbuat apapun,sama seperti bangsa pohon lain. Hanya kesadaran hati manusia lah yang dapat mengurangi perih dalam hidup kami. Dengan tidak menebangi kami secara liar, membakar hutan untuk membuka lahan, menempeli iklan atau poster di batang- batang kami.
Kalimat terakhir yang dapat kami katakan ialah, Terimakasih atas segala usaha kalian melestarikan kami. Maaf jika terkadang kami membawa bencana bagi kalian. Salam hijau dari kami bangsa Pohon.


SELESAI


















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukankah Cinta Memang Seperti Itu?

Kesedihanmu

Tentang Keindahan